Awal bulan Maret ku mulai menginjakkan kaki ini di Ibukota Jakarta, tak berbekal pengetahuan mengenai tempat dan karakter orang2nya..just percaya pada Alloh dan diri sendiri. Alhamdulillaah saya di terima jadi pegawai pemerintah, dan ditempatkan dipusat. Sebulan saya tinggal di rumah saudara, pergi dan pulang bareng saudara..huhu ngga betahhh sekali..ingin rasanya pulangg..dan tak kembali. ya, perasaan itu yang selalu membayangi setiap hari..”kenapa ya, Alloh pilihkan tempat ini untuk saya mencari rizki” itupun pertanyaan yg selalu muncul dalam benak pikiran saya. Jauh dari keluarga, dengan karakter orang2 yang berbeda satu dengan yang lain, begitulah yang harus dihadapi hari demi hari. Dan sampai akhirnya menjadi anak kos menjadi satu pilihan saya untuk lebih menguatkan langkah ini dalam menjemput rizki, karena dengan hidup sendiri saya akan belajar untuk tidak tergantung orang lain.
Tak terasa waktu demi waktu terus berganti,,suka duka kerjapun sudah dilalui, sedikit demi sedikit saya mulai belajar beradaptasi, sampai akhirnya lulus kuliah pun saya bisa mendapatkannya ketika saya bekerja disini. Pulang malam, tanpa TV, naik ojek, taksi, macet, bulan Ramadhan, sahur dikosan, kesiangan sahur, menginap di hotel, belanja, ke mesjid Istiqlal, mesjid BI, mesjid deket kosan yang berAC, mudik dengan bis yang mogok, semua sudah saya rasakan…hmm Alhamdulillaah…Alloh masih menjaga saya..mudah2an Alloh sampai nanti tetap menjaga saya..aamiin.
Tak terasa juga libur lebaran telah berakhir, kini harus bersiap2 untuk pergi kembali ke ibukota. Walaupun sudah terbiasa tinggal disana, namun hati kecil tetap berharap agar nanti bisa kembali kekampung halaman lagi..*ngarep mode on

Usia adalah perjalanan yang tersisa menuju sebuah kehilangan, kadang kita tidak pernah merasa, ketika ‘dia’ berangsur-angsur meninggalkan kita, dan menyisakan banyak kenangan, kenangan indah hingga kenangan akan segala kekurangan kita. ‘Dia’ takkan pernah kembali dan kaupun takkan pernah bisa memintanya tuk menunggu,
dan hanya orang yang mengambil pelajaran yang akan menemukan makna atas kehadirannya.
(lebih…)

Nak, jauh sebelum kau hadir dalam kehidupan ayah dan ibu, kami senantiasa bermohon kepada Allah Swt agar dikaruniai keturunan yang sholeh dan sholihah, yang taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, rajin beribadah dan belajar, serta dapat menjadi penerus dakwah Ilallaah.

Banyak rencana yang kami rancang, agar kelak bila kau hadir, kami sudah siap menjadi orang tua yang baik dan mampu mendidikmu dengan didikan yang sesuai dengan dinnul Islam, tuntunan kita seperti yang dicontohkan oleh Rosulullah Saw kepada kita.

Ayah dan Ibu ingin, kelak bila Allah mengamanahkan kepada kami seorang putri, maka dia akan berakhlaq seperti akhlaqnya Fatimah putri Rasulullah, dan bila Allah mengamanahkan seorang putra, maka dia akan seperti Ali.

Setelah tanda kehadiranmu mulai tampak, Ibu sering mual, muntah-muntah, sakit kepala dan sering mau pingsan, Ibu dan Ayah bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya, kami menjagamu sepenuh hati, serta senantiasa berharap, kelak kau lahir sebagai anak yang sehat, sempurna dan menyenangkan.
(lebih…)

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
“Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
“Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

(lebih…)